Bercanda Menurut Pandangan Islam
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (Qs al-Ahzâb/33:21).
RASULULLAH ﷺ JUGA BERCANDA
Sebagai manusia biasa, kadang kala beliau ﷺ juga bercanda. Beliau ﷺ sering mengajak istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati, dan membuat mereka gembira. Namun canda beliau ﷺ tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa, beliau ﷺ tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak berkata kecuali yang benar.
Dituturkan ‘Aisyah رضي الله عنها:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ص مُسْتَجْمِعًا قَطٌ ضَاحِكًا حَتَّى تُرَى مِنْهُ لَهَوَاتُهُ، إِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
Aku belum pernah melihat Rasulullah ﷺ tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum. 1
Abu Hurairah رضي الله عنه menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?”
Rasulullah ﷺ menjawab:
نَعَمْ! غَيْرَ أَنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
Betul, hanya saja aku selalu berkata benar. 2
BEBERAPA CONTOH CANDA NABI BEBERAPA CONTOH CANDA NABI ﷺ
- Anas رضي الله عنه menceritakan salah satu bentuk canda Rasulullah ﷺ . Dia berkata, Rasulullah ﷺ pernah memanggilnya dengan sebutan:
يَا ذَا الأُذُنَيْنِ!
Wahai, pemilik dua telinga! 3
- Anas رضي الله عنه mengisahkan, Ummu Sulaim x memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair. Rasulullah ﷺ sering bercanda dengannya setiap kali beliau datang. Pada suatu hari beliau ﷺ datang mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang sedih. Mereka berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya bermain sudah mati,” lantas Rasulullah ﷺ bercanda dengannya, beliau berkata:
يَا اَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُغَيْرُ
“Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?” 4
- Anas bin Malik رضي الله عنه bercerita, ada seorang pria dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah ﷺ sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ menemuinya ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah ﷺ memeluknya dari belakang, sehingga ia tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru: “Lepaskan aku! Siapakah ini?”
Setelah menoleh iapun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah Rasulullah ﷺ . Maka iapun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah ﷺ . Rasulullah ﷺ lantas berkata: “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”
Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah ﷺ . Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah ﷺ membalas: “Justru di sisi Allah سبحانه وتعالى engkau sangat mahal harganya!”5
- Diriwayatkan dari Anas رضي الله عنه, bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi ﷺ berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau ﷺ berkata: “Bukankah onta yang melahirkan anak onta?”6
- Rasulullah ﷺ juga sering kali bercanda dan menggoda Aisyah رضي الله عنها .
Suatu kali beliau ﷺ berkata kepadanya: “Aku tahu kapan engkau suka kepadaku dan kapan engkau marah kepadaku,” Aku (‘Aisyah) menyahut: “Darimana engkau tahu?”
Beliau ﷺ berkata: “Kalau engkau suka kepadaku engkau akan mengatakan, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad,’ dan kalau engkau marah kepadaku engkau akan mengatakan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim”. Aku (‘Aisyah) menjawab: “Benar, demi Allah! Tidaklah aku menghindari melainkan namamu saja.”7
- Abu Hurairah رضي الله عنه menceritakan: “Rasulullah ﷺ pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan al-Hasan bin Ali رضي الله عنه . Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” 8
CANDA YANG DIBOLEHKAN
Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan dibolehkan. Begitu pula Rasulullah ﷺ juga melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan beberapa hal yang penting dalam bercanda.
- Meluruskan tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
- Jangan melewati batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
- Jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
- Jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.
- Hindari perkara-perkara yang dilarang Allah سبحانه وتعالى saat bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang oleh Allah l, di antaranya sebagai berikut.
– Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda.
Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh. 9
Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi ﷺ sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain. 10
Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.
– Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang memperbaiki akhlaknya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah ﷺ , beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau ﷺ bersabda:
إِنِّيْ لَأَمْزَحُ وَلَا أَقُوْلُ إلَّا حَقًّا
Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. 11
Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah ﷺ telah memberikan ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau ﷺ :
وَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يُحَدِثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. 12
Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.
– Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.
– Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang tertawa. Sangatdisayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.
- Hindari bercanda dengan aksi dan kata-kata yang buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit semangka setelah memakannya.13
Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah سبحانه وتعالى telah berfirman:
وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. (Qs al-Isrâ`/17:53).
- Tidak banyak tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebih-lebihan sampai terpingkal-pingkal ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi ﷺ telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda:
لَا تُكْثِرُوْا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”
Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah رضي الله عنها. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.
- Bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anak-anak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ , yaitu sebagaimana yang beliau lakukan terhadap ‘Aisyah رضي الله عنها dan al Hasan bin Ali, serta seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair.
- Jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan symbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiar-syiarnya, wal iyâdzu billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنٰفِقُوْنَ اَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُوْرَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِيْ قُلُوْبِهِمْۗ قُلِ اسْتَهْزِءُوْاۚ اِنَّ اللّٰهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُوْنَ وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-mainsaja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. (Qs at-Taubah/9:64-65)
Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati.
Allah berfirman:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Qs al-Hajj/22:32).
Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah ﷺ dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan.
Maraji‘:
- Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
- Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
- Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn, ‘Abdul- ’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
- Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
- Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
- Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
- Sirah Shahîhah, Dhiyâ al-‘Umari.
- Sunan Abu Dawud, Tashih: Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
- Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.
Footnote:
1) Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
2) Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
3) Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242, 260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
4) Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
5) Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161), at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
6) Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
7) Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits nomor 2439).
8) Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits 70
9) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
10) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat Shahîh Abu Daud (4183)
11) Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
12) Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
13) Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/manhaj/bercanda-menurut-pandangan-islam/